Pak Sudarman..begitulah namanya, berangkat dari rumah jam 2 siang, menempuh perjalanan kurang lebih 18 km, dengan hanya berjalan kaki. Sampai di tempat tujuan langsung menyiapkan dagangannya. Duduk dengan sabar, terik matahari tak dirasa, guyuran air hujan sudah terbiasa demi menunggu pembeli. Barang yang dijual pun tidak istimewa. Terkadang singkong, ubi jalar, kelapa. "Seadanya saja, yang penting bisa dijual dan menghasilkan uang", begitulah katanya.
Duduk sendiri di pinggiran trotoar dengan hanya memakai pakaian seadanya yang terkadang dibalut dengan jas hujan yang sudah lusuh. Mulutnya berkomat-kamit tiada henti membacakan dzikir dan shalawat Nabi. Masih menunggu..menunggu..dan terus menunggu pembeli. Malam menjelang, sebotol kopi dan rokok menemaninya untuk mengusir hawa dingin. "Selama masih ada kopi, walo seharian saya nggak makan juga kuat kok", katanya.
Beraneka jenis mobil dan motor melaju di depan tempat dia bekerja, seakan penunggang mobil dan motor tidak sadar akan kehadirannya. Masih dengan sabar dia menunggui dagangannya yang terkadang laku dan terkadang tidak laku sama sekali. Dia akan menunggui dagangannya dan akan menunggu datangnya pembeli hingga jam 8 pagi. Laku atau tidak, jam 8 pagi dia pulang kerumah untuk beristirahat guna menyiapkan staminanya untuk beraktivitas kembali dengan rutinitas yang sama.
Bagi saya sosok Pak Sudarman bukan hanya seorang penjual singkong pinggir trotoar. Bagi saya Pak Sudarman adalah seorang guru, yang telah mengajarkan berbagai macam ilmu kehidupan.
Duduk sendiri di pinggiran trotoar dengan hanya memakai pakaian seadanya yang terkadang dibalut dengan jas hujan yang sudah lusuh. Mulutnya berkomat-kamit tiada henti membacakan dzikir dan shalawat Nabi. Masih menunggu..menunggu..dan terus menunggu pembeli. Malam menjelang, sebotol kopi dan rokok menemaninya untuk mengusir hawa dingin. "Selama masih ada kopi, walo seharian saya nggak makan juga kuat kok", katanya.
Beraneka jenis mobil dan motor melaju di depan tempat dia bekerja, seakan penunggang mobil dan motor tidak sadar akan kehadirannya. Masih dengan sabar dia menunggui dagangannya yang terkadang laku dan terkadang tidak laku sama sekali. Dia akan menunggui dagangannya dan akan menunggu datangnya pembeli hingga jam 8 pagi. Laku atau tidak, jam 8 pagi dia pulang kerumah untuk beristirahat guna menyiapkan staminanya untuk beraktivitas kembali dengan rutinitas yang sama.
Bagi saya sosok Pak Sudarman bukan hanya seorang penjual singkong pinggir trotoar. Bagi saya Pak Sudarman adalah seorang guru, yang telah mengajarkan berbagai macam ilmu kehidupan.
- Sedikit mengeluh dan banyak bersyukur. Itu pelajaran pertama yang bisa saya tangkap dari Pak Sudarman. Apapun keadaan yang telah diberikan oleh Allah SWT sebisa mungkin hal tersebut disyukuri, dan sebisa mungkin untuk tidak mengeluh. "Mengeluh hanya akan menambah beban hidup kita semakin berat", begitu kata Pak Sudarman.
- Hidup adalah perjuangan. Jangan mudah menyerah terhadap keadaan. Berusaha dan terus berusaha. Kerasnya hidup yang menghimpit Pak Sudarman tidak membuatnya menyerah untuk terus berjuang. Dia tidak mau menjadi seorang yang meminta-minta. "Selama masih mampu, berusahalah. Selama masih sanggup mencari, jangan pernah untuk meminta".
- Berusaha untuk bertanggung jawab. Pak Sudarman sadar akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Dia harus mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, walau itu dilakukan dengan sangat susah payah.
Sekarangpun saya masih dalam proses taraf belajar atas ilmu yang telah diajarkan oleh Pak Sudarman. Maukah sodara dan sodari ikut belajar bersama saya???

