"Berkhayal lah seluas biru langit, berpikir lah sedalam biru laut, horizontal sama rata sama rasa. Buka jendelamu lalu pandanglah, buka pintumu ayo keluarlah, bebas lepas lepaskan kebebasan. Jangan takut keluarlah, hadapi dunia dengan menari" [Slank Dance].

Tuesday 23 November 2010

Laporan Dari TKP

Wah mohon mangap, laporan mudik dari Jogja yang seharusnya saya posting tanggal 14 Nopember 2010 yang lalu, terpaksa saya angkat sekarang. Selain habis merasakan nikmatnya sakit sepulang dari Jogja selama 5 hari, kesibukan yang lain juga telah menyita waktu saya tersenyum lebar [alasan saja].

Jadi begini, setelah beberapa hari tertunda untuk mudik, akhirnya hari Selasa tanggal 8 Nopember 2010 saya putuskan untuk mudik, rasa penasaran dan kepikiran keluarga di Jogja sudah tidak terbendung lagi. Berangkat hari Selasa jam 20.00 WIB, berharap sampai di Jogja Rabu pagi hari seperti biasa sekitar jam 06.00 WIB. Tapi apalah daya, manusia hanya bisa berharap, toh akhirnya Allah juga yang menentukan. Perjalanan tidak semulus yang diharapkan. Di Saradan, Madiun Jawa Timur bus yang saya tumpangi terjebak macet kurang lebih 5 jam...!! menangis. Sangat tersiksa di dalam bus, [maaf] pantat saya sampai panas ndak karu-karuan.

Sampai jam di rumah Jogja sekitar jam 11.00 WIB, badan capek, laper. Di rumah langsung ndlosor tidur. Bangun sore hari langsung ngobrol-ngobrol bareng Simbah tentang kondisi sekitar yang habis dihujani abu dan pasir dari gunung Merapi. Sebenarnya di daerah saya abu dan pasir yang sempat turun tidak begitu tebal, tapi lumayan membuat suasana kurang nyaman, terutama saat bernafas. Lha wong pas saya nyapu rumah, masih tampak debu-debu tipis berwarna putih. Kemudian sore hari setelah mandi, saya sowan ke rumah Pakdhe saya yang masih satu dusun dengan Simbah saya. Ngobrol-ngobrol sebentar, terus Pakdhe ngajak lihat jembatan di bantaran Sungai Kuning, jalur mengalirnya lahar dingin Merapi. Jembatan ini adalah jembatan yang menghubungkan antara dusun Sawahan dan dusun Kertirejo. Di dusun Kertirejo ini juga ada saudara-saudara saya, yang ternyata masih ngungsi. Kondisi jembatan ternyata sudah ambrol dihantam aliran lahar dingin Merapi terkejut.

Di sana kondisi sudah relatif aman, gunung Merapi sudah nggak mengeluarkan letusan Wedhus Gembel atau material berat lainnya seperti pasir dan batu-batu besar. Hanya saya masih tampak mengeluarkan asap yang membumbung tinggi dan mengarah ke arah barat [daerah Magelang, Jawa Tengah]. Hasrat untuk memotret gunung Merapi pupus sudah, karena beberapa hari di sana Merapi tampak selalu diselimuti awan dan asap.

Pesan dari Bapak untuk mengajak Simbah pindah ke Jember pun tidak terealisasi. Simbah tidak kersa untuk diajak ke Jember. Beliau bilang, di sini aman dan tidak ada apa-apa, kondisi seperti ini sudah lumrah. Semuanya masih aman. "Simbah wis tuwa, arep neng endi-endi wis wegah. Aku tak neng kene wae, nunggoni omah iki. Aku wis tuwa kaya ngene mengko malah ngrepoti sing enom. Neng kene pasrah marang Gusti wae, arep dipulung kapan wae yo mangga. Lha Simbah iki wis tutuk anggone ngrumat anak, putu, buyut". ["Simbah sudah tua, mau kemana-mana sudah malas. Saya di sini saja, nunggu rumah ini. Saya sudah tua begini nanti malah merepotkan yang muda. Di sini pasrah kepada Allah saja, mau 'diambil' kapan saja saya sudah siap. Saya kira sudah cukup rasanya saya merawat anak, cucu, cicit"]. Kesederhanaan yang membuat saya sangat-sangat terharu sedih. Love you, Mbah.

Sementara keadaan di pengungsian, di Stadion Internasional Maguwoharjo [kurang lebih 6 km arah selatan dari rumah saya], kondisinya sangat ramai. Orang-orang berjubel buanyak. Mau motret merasa nggak enak, masa' orang lagi kesusahan maen jepret seenaknya hehe. Saya sempat mikir, bagaimana kalo' pas pagi hari ya?? Orang sebanyak itu ingin menggunakan fasilitas kamar mandi yang jumlahnya nggak seberapa, pasti sangat tersiksa. Jadi teringat omongan salah satu politisi negeri ini yang bilang, "Para pengungsi kan sudah enak, tinggal duduk-duduk dan nunggu bel klenteng-klenteng untuk makan, menunya komplit, tiga kali sehari". Busyeeet... enteng bener ngomongnya, nggak ikut merasakan bagaimana susahnya jadi pengungsi sih tuh politisi, jadinya ya mulutnya asal njepat sak enake dewe.
Budhe saya saja nggak ikut ngungsi bukan karena nggak takut atau khawatir. Beliau tetap standby di rumah alasannya simpel, selain merasa karena masih dalam zona aman, beliau juga bilang bahwasannya apapun yang terjadi tetap masih enak di rumah sendiri. "Paribasan mangan ora mangan tapi arep ngopo-ngopo iseh penak, ora kaya neng pengungsian". ["Ibaratnya makan nggak makan tapi mau ngapa-ngapain masih enak, tidak seperti di pengungsian"].

Yah... begitulah, semoga saja kondisi di Jogja menjadi semakin baik. Orang-orang yang mengalami musibah diberikan kekuatan untuk menghadapinya. Semoga Jogja bisa tersenyum kembali. Amin.

share on facebook

Monday 22 November 2010

Berkurang Satu Tahun

Kategori : Puisi

22 November 2010
"Happy Birthday To Me"


Duh Gusti Mugi Paringo Ing Margi Kaleresan
Kados Margining Manungso Kang Manggih Kanikmatan

Sanes Margining Manungso Kang Paduka Laknati

[Emha Ainun Najib]


share on facebook

Monday 8 November 2010

Masih Harap-harap Cemas

Dari hari Jum'at [5/11] sampai hari ini ternyata rencana pulang ke Jogja masih belum terealisasi, peringatan dari keluarga Jogja masih tetap sama, JANGAN PULANG DULU...!! dengan alasan kondisi yang masih semrawut. Kabar terakhir yang saya dengar mayoritas keluarga di sana bersama warga sedusun malah sudah mengungsi sampai Patuk, Gunung Kidul yang dikoordinasi oleh Pak Dukuh setempat, hanya ada beberapa warga yang tetap bertahan, termasuk 1 Pak Dhe saya yang masih tetap ngeyel bertahan menunggu rumah dan ternaknya. Ibu saya yang notabene adik kandung beliau pun sampai nggak sanggup untuk membujuk beliau agar turut mengungsi. Sebenarnya lokasi dusun masih dalam zona aman, tetapi entah karena ketakutan yang berlebihan atau trauma akan suara gemuruh Merapi, akhirnya banyak warga yang ikut mengungsi.

Sementara saya di Jember sini, cemas nggak karu-karuan mikir kondisi keluarga di Jogja, apalagi mikir Simbah Kakung saya yang sudah sepuh, gimana keadaannya di pengungsian ya? menangis
Saya di Jember hanya bisa memantau kondisi di Jogja melalui radio streaming di internet, yaitu komunikasi dari Handy Talky [HT] para petugas pemantau dan relawan yang bertugas di beberapa titik pos pemantauan, seperti di Balerante dan Manisrenggo Klaten, Babarsari, Turi, Prambanan, Kaliurang Yogyakarta. Biasanya dari website Jalin Merapi di http://merapi.combine.or.id inilah saya update informasi terkini mengenai keadaan Merapi. Walau terkadang informasi yang saya terima kurang jelas, karena masih ada jammer [pengganggu komunikasi] yang membuat jalur komunikasi di frekuensi 149.070 MHz berjalan kurang lancar.

Menilik lagu dari Ebiet G. Ade yang berjudul 'Untuk Kita Renungkan', ada salah satu liriknya yang berbunyi '...dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista...'
, kiranya lagu tersebut memang ada benarnya. Karena kenyataan di lapangan, saat orang pada susah dan bingung karena bencara Merapi, eh... masih ada aja maling-maling berkeliaran menjarah isi rumah-rumah kosong yang ditinggal mengungsi penghuninya. Naudzubilah... kok ya tega, sudah nggak punya otak dan hati nurani orang model kaya' gitu.

Ada lagi orang-orang yang memanfaatkan keadaan ini untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya yang ditujukan untuk kepentingan pribadi. Seperti berpura-pura sebagai relawan dan meminta sumbangan yang akhirnya sumbangan itu untuk dirinya sendiri alias tidak di distribusikan buat korban bencana. Ada lagi toko yang menaikkan harga barang-barang yang dijualnya hingga dua kali lipat. Ah... benar-benar hilang hati nurani mereka.

Belum lagi adanya ganggung [jamming] komunikasi petugas pemantau dan relawan oleh orang-orang [jammer] yang nggak bertanggung jawab. Untuk masalah ini, saya sebenarnya juga kurang paham betul, gangguan komunikasi dirusak oleh jammer secara sengaja atau karena ketidak tahuan orang untuk tidak mengganggu frekuensi komunikasi para petugas. Padahal petugas pemantau berkali-kali mengingatkan, agar orang-orang yang memiliki HT dan tidak berkepentingan agar seyogyanya untuk turun dari frekuensi 149.070 MHz, agar tidak mengganggu komunikasi para petugas pemantau dan relawan. Isu yang beredar di antara pemantau dan relawan, konon penyebab meninggalnya beberapa relawan dikarenakan komunikasi yang kurang lancar, akibat adanya jamming sedih.

Kalo' menurut orang pinter yang katanya berkompeten di bidangnya, dalam hal ini Yang Terhormat Bapak Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, kurang lancarnya komunikasi radio tersebut dikarenakan terlalu banyaknya orang yang mengakses frekuensi 149.070 MHz untuk mengetahui informasi terkini dari Merapi, hingga akhirnya terjadi tumpang tindih dalam komunikasi dan akhirnya arus komunikasi menjadi tidak lancar, jadi penyebab kurang lancarnya komunikasi bukan karena jammer, begitu katanya. Akan tetapi kalo' memang ada jammer yang mengganggu arus komunikasi, Bapak Menteri menghimbau agar lokasinya segera dicari dan ditangkap. Jammer ini akan dikenakan sanksi pidana hingga Rp. 600 juta [hayoo... modiar ora kowe...!!].

Menurut saya pribadi yang tiap online di internet selalu standby mengikuti komunikasi radio streaming ini, kurang lancarnya komunikasi bisa saja memang karena overload penggunanya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan karena memang diganggu oleh jammer, karena terkadang ada saja orang yang ikut nimbrung bicara nggak jelas, malah kadang ada anak kecil yang ikut-ikut berbicara [mbuh, sakjane iki anake menungsa apa anake setan]. Parahnya lagi sampai ada yang nimbrung muter lagu nggak penting segala. Parah...!! Lebih parahnya lagi ulah para jammer [kalo' memang itu dilakukan oleh jammer] itu sepertinya tidak segera diatasi. Andai hal ini segera diatasi. Kerahkan aparat, kalo' perlu Densus 88 untuk melacak dan menangkap keberadaan jammer, karena tindakannya sudah meresahkan dan mengganggu komunikasi petugas pemantau dan relawan. Hal ini tidak ada bedanya dengan teroris, menurut saya.

Di sini hanya bisa berharap dan berdoa semoga bencana segera usai. Semoga Jogja dan wilayah sekitarnya bisa kembali normal. Dan semoga orang-orang yang moral dan hati nuraninya sudah rusak bisa mendapat hidayah dari Allah Sang Penguasa Alam. Amin.

share on facebook

Friday 5 November 2010

Harap-harap Cemas

Foto Gunung Merapi yang saya ambil saat Lebaran tahun 2009 lalu

Hari ini rencana mudik ke Jogja terpaksa dibatalkan, melalui sambungan telepon saudara di Jogja menyarankan agar saya jangan pulang kampung terlebih dahulu. Suasana masih mencekam. Hujan abu dan kerikil kerap turun menghujani desa. Lampu padam. Suasana gelap gulita.

Radius dari puncak merapi ke desa saya kurang lebih 25 km, akan tetapi warga sudah diperingatkan untuk siap siaga mengungsi, jiwa sewaktu-waktu keadaan sudah berbahaya. Bahkan saudara-saudara saya yang ada di desa lain, yang dekat dengan Kali Kuning tempat aliran lava Merapi mengalir, sudah mengungsi semua. Ya Allah semoga semuanya aman dan selamat. Amin.


share on facebook