"Berkhayal lah seluas biru langit, berpikir lah sedalam biru laut, horizontal sama rata sama rasa. Buka jendelamu lalu pandanglah, buka pintumu ayo keluarlah, bebas lepas lepaskan kebebasan. Jangan takut keluarlah, hadapi dunia dengan menari" [Slank Dance].

Friday 24 September 2010

Mencintai Kretek Sebagian Dari Iman

Written by Abhisam DM
Thursday, 19 August 2010 05:30


…kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia.” (Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes)


Rokok umumnya berbahan baku utama tembakau. Tetapi kretek berbeda. Selain tembakau, ia juga berbahan baku utama cengkeh. Elemen cengkeh itu menjadikannya unik. Tidak ada satu pun rokok di dunia yang mencampur tembakau dengan cengkeh, kecuali kretek. Dari elemen cengkeh itu pula nama kretek tercipta. Ketika dibakar, irisan-irisan bunga (biji) cengkeh mengeluarkan suara “keretek…keretek”, untuk mempermudah orang lalu menyebutnya “kretek”.

Konon, cerita kretek bermula dari Kudus, Jawa Tengah. Waktu itu, sekitar akhir abad ke-19, Haji Djamari merasa sakit di bagian dada. Untuk mengobati sakitnya, ia mengoleskan minyak cengkeh. Rasa sakitnya berkurang. Ia bereksperimen lebih lanjut, mengiris cengkeh sampai halus, mencampurnya dengan tembakau, lalu dibungkus daun jagung. Dengan menghisap “rokok obat” itu sakit di dada Haji Djamari ternyata makin membaik. Berita ini cepat tersebar luas. Permintaan bermunculan. Dari situlah ia mulai memproduksi kretek secara rumah tangga.

Sampai wafat Haji Djamari belum sempat meraup kekayaan dari kretek. Adalah Nitisemito, seorang buta huruf, warga Kudus juga, yang dipercaya pertama kali mengembangkan bisnis kretek. Ia mendirikan Tjap Bal Tiga. Usahanya maju pesat sampai mampu mempekerjakan ribuan orang dan memproduksi jutaan batang kretek per hari. Pemasarannya mencakup Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke Belanda.

Perselisihan ahli waris, munculnya makin banyak pesaing serta pecahnya Perang Dunia II membuat Tjap Bal Tiga tersungkur. Merek-merek lain kemudian menggantikan, dari mulai Djamboe Bol, Djarum, Sukun, Minak Djinggo, sampai belakangan Sampoerna, Bentoel, dan Gudang Garam.

Dari cerita Haji Djamari dan Nitisemito, siapa sangka kisah kretek menjelma bak dongeng kejayaan nusantara :

Kretek
tak tertandingi di kandang sendiri dengan menguasai 93% pasar rokok. Di pasar internasional kretek menembus puluhan negara dari Asia, Amerika, dan Eropa. Di Amerika Serikat (AS) ekspor kretek naik sampai 100% dan membuat negeri adikuasa itu langsung menerbitkan Undang-undang Kontrol Tembakau (Tobacco Control Act) yang isinya melarang peredaran kretek. Anehnya produk rokok menthol tidak dilarang. Usut punya usut, ternyata rokok menthol dikuasai oleh produsen dalam negeri AS. Kretek telah berhasil membuat AS, negeri yang katanya adikuasa itu, merasa terancam dan ketakutan, lalu menerbitkan Undang-undang diskriminatif yang mengingkari asas pasar bebasnya sendiri.

Kretek
lahir dari industri dengan muatan impor (import content) yang rendah, hanya 4% saja. Selebihnya, 96%, bahan baku dari lokal. Karakter seperti itu membedakan industri kretek dengan industri secara umum di dalam negeri yang muatan impornya tinggi. Statistik ekonomi menunjukkan 70 persen lebih impor Indonesia adalah bahan baku, sisanya barang konsumsi dan barang modal. Karakter seperti itu juga yang membuat industri kretek mempunyai “sistem imun” tinggi terhadap goncangan ekonomi global. Saat badai krisis menghantam di tahun 1998, industri kretek adalah satu dari sedikit industri dalam negeri yang bertahan.

Kretek
adalah penyumbang cukai terbesar. Di tahun 2010 ini negara diproyeksikan akan menerima 58,3 triliun dari cukai, sebesar 55,8 triliun berasal dari rokok. Penerimaan cukai dari rokok itu, 93% dibayarkan oleh konsumen kretek. Sebagai catatan, sepanjang tahun 2005-2008 penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai rokok dengan kontribusi rata-rata 97,8 persen, dan rata-rata pertumbuhan 15,2 persen.

Kretek
dan industrinya melibatkan puluhan juta orang dan memberi nilai tambah tinggi pada perekonomian. Dari hulu sampai hilir, industri rokok melibatkan 30 juta orang lebih. Bahkan ada data yang menyebut sampai 50,3 juta orang. Dari hulu ke hilir, industri rokok juga memberi nilai tambah tinggi. Berbeda dengan karet, kakao, tambang, dan lain-lain, yang hanya mengekspor bahan mentah sehingga nilai tambahnya dinikmati negara pengimpor. Industri rokok, 90% lebih adalah industri kretek.

Kiranya tidak berlebihan kata budayawan Mohammad Sobary: “Kretek merupakan sumbangan tak ternilai yang mengharumkan nama bangsa. Kretek memberi kita merek istimewa dalam percaturan internasional. Maka, pelan-pelan saya menyadari, bisnis ini lebih dari sekadar berharga untuk dimusuhi dan juga lebih dari layak dirampas dengan berbagai cara.”

***

Alkisah tahun 1953, KH. Agus Salim mewakili Presiden Soekarno dalam acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris di Istana Buckingham. Di acara itu Agus Salim melihat Pangeran Philip tampak canggung menghadapi khalayak yang hadir, barangkali karena masih muda. Ia menyalakan kretek, lalu mendekati Pangeran Philip. Di sekitar hidung Pangeran Philip, Agus Salim mengayun-ayunkan kreteknya. Ia kemudian bertanya, “Your Highness, adakah Paduka mengenali aroma rokok ini?” Pangeran Philip menghirup-hirup aroma kretek Agus Salim. Setelah beberapa saat ia mengaku tidak mengenali aroma tersebut. Agus Salim tersenyum lalu berkata, “Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun lalu bangsa Paduka mengarungi lautan dan menjajah negeri kami.”


The Grand Old Man, julukan KH. Agus Salim, memang dikenal cerdas dalam menyampaikan kritik tajam dan pedas. Ia sekali lagi membuktikan itu di Istana Buckingham. Kretek tak lain ialah cengkeh, tanaman tropik asli nusantara, tepatnya Kepulauan Maluku. Sejak abad XVI cengkeh menjadi magnet bagi merkantilisme Eropa untuk datang dan menjajah nusantara.


Dulu, karena cengkeh nusantara dijajah. Kini, karena cengkeh penjajah kembali. Membonceng isu kesehatan, para penjajah itu ingin merampas “rokok cengkeh”, nama lain dari kretek. Mereka paham betul, Indonesia tidak banyak punya produk unggulan dan industri nasional yang kuat. Kretek dan industrinya, satu dari yang sedikit yang kuat, itulah yang kini mereka serang.


Sejak 1990an konspirasi dirajut. Bendera World Health Organization (WHO) dipinjam. Riset didasarkan pesanan. Data, angka, statistik dan estimasi, dimanipulir. Teror bernama sejumlah penyakit dan kematian akibat rokok tumbuh subur. Soal dagang dibelokkan jadi kesehatan. Uang menjelma tuhan. Dalang semua itu adalah industri farmasi AS.


Wanda Hamilton, seorang peneliti independen dan pengajar di tiga universitas terkemuka di AS, membongkar konspirasi industri farmasi AS dengan WHO melalui bukunya Nicotine War (Yogyakarta: INSISTPress, 2010). Menurut Hamilton, propaganda anti rokok merupakan bagian dari marketing industri farmasi. Ia menyebut: “Koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi.” Targetnya agar orang berhenti merokok, dan untuk berhenti merokok itu harus ada penanganan atas ketagihan nikotin. Dari situlah terbuka jalan bagi terapi atau obat-obat yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).


Tobacco Dependence, traktat tiga halaman tiga halaman terbitan WHO, menyebut merokok sebagai “wabah pediatri” yang membunuh jutaan anak-anak dan orang dewasa: “Wabah ini diperkirakan akan membunuh 250 juta anak-anak dan orang dewasa yang hidup saat ini, sepertiga dari mereka hidup di negara-negara berkembang.” Dalam traktat itu istilah treatment (penanganan, perawatan) disebut tidak kurang dari 36 kali. Treatment adalah kata kunci untuk memasarkan produk-produk industri farmasi.


Tidak heran jika industri farmasi meraup keuntungan besar. Hamilton mengungkap fakta-fakta ini :


“Sepuluh perusahaan obat terbesar dilaporkan menghasilkan laba rata-rata 30 persen dari pendapatan –margin yang mencengangkan. Selama beberapa tahun belakangan, industri farmasi secara keseluruhan sejauh ini merupakan industri yang paling beruntung di Amerika Serikat.” Angell M, “The Pharmaceutical Industry –To Whom Is It Accountable?” New England Journal of Medicine, June 22, 2000.


“Setiap tahun sejak 1992, industri obat adalah industri paling beruntung di Amerika Serikat, menurut pemeringkatan majalah Fortune. Selama bertahun-tahun itu, besarnya imbalan pendapatan (laba sebagai persentase penjualan) industri obat rata-rata tiga kali laba rata-rata semua industri lain yang tercantum dalam Fortune 500.” Public Citizen Report, “Rx R&D Myths: The Case Againts the Drug Industry’s R&D ‘Scare Card,” July 23, 2001.


“Jika ditotal, kapitalisasi pasar dari empat perusahaan (farmasi) terbesar itu jumlahnya melebihi perekonomian India.” David Earnshaw, mantan direktur urusan pemerintah Eropa untuk SmithKline Beecham, kini ketua kampanye Oxfam untuk akses terhadap obat-obatan. Dikutip dalam Roger Dobson, “Drug Company lobbyist joins Oxfam’s cheap drugs campaign,” BMJ, 332, April 28, 2001, p. 1011.


Bukan hanya Hamilton yang bersikap kritis terhadap propaganda anti rokok. Gabriel Mahal dalam Epilog Nicotine War menulis nama-nama yang lain. Ada Robert A Levy dan Rosalind B Marimont, yang dalam artikel berjudul Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths (1998) mengatakan bahwa perang terhadap tembakau telah berkembang menjadi “monster kebohongan dan kerakusan”. Ilmu pengetahuan sampah (junk science) telah menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda tampil sebagai fakta-fakta. Yang jadi korban pertama dalam perang melawan tembakau adalah kebenaran.


Angka 400.000 kematian prematur di Amerika akibat rokok, kata Levy dan Marimont, merupakan estimasi yang di-generated melalui suatu program komputer SAMMEC (Smoking Associated Mortality, Morbidity and Econimic Cost). SAMMEC didasarkan pada model yang salah, mengabaikan semua aturan mengenai epidemiology, dan secara cepat menyimpulkan efek rokok terhadap kematian. Sebagai contoh: jika Joe Smith yang gemuk, punya kolesterol tinggi, diabetes, punya sejarah penyakit jantung dalam keluarga, tidak pernah olahraga, dan…merokok, meninggal karena serangan jantung, maka program SAMMEC akan menyebutkan faktor rokok sebagai penyebab kematian Joe Smith.


Senada dengan Levi dan Marimont, Judith Hatton, co-author buku Murder a Cigarette, mengatakan bahwa pernyataan WHO tentang bahaya merokok tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik, estimasi, tidak lebih dari Lies, Damned Lies.


Lauren A. Colby, litigation lawyer dari Maryland, menulis buku In Defence of Smokers (2003) untuk membuktikan bahwa propaganda anti merokok tidak berdasar kebenaran, tidak bertanggung jawab dan liar. Di kata pengantar buku itu Colby menulis: “I wrote this book to refuse the wild, irresponsible and untruthful anti-smoking propaganda which obscures the truth.”


Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul “Study casts doubt on heart ‘risk factor” (International News, 25/8/1998), mengungkapkan bahwa studi cardiologi paling besar yang pernah dilakukan, telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor resiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi.


Monica study, demikian nama studi tersebut, yang melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun. Para ilmuwan tidak dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas, merokok, tingkat tekanan darah, atau kolesterol. Hasil studi ini diumumkan the European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998.


Studi yang paling lama dan paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan Australia. Penurunan penyakit jantung paling besar terjadi di Swedia. Yang meningkat terjadi di Lithuania, Polandia, China, dan Rusia. Hasil studi juga mengungkapkan, kegelisahan, kemiskinan, perubahan ekonomi, dan sosial mempunyai hubungan dengan penyakit jantung. Fakta ini nampak sejak studi ini mulai dilakukan pada era 1980-an. Seseorang yang berhenti merokok namun kehilangan rumah tempat tinggal secara umum berada pada risiko terkena penyakit jantung karena faktor stres.


Suara-suara kritis terdampar di ruang hampa. Sebaliknya, kampanye anti rokok makin nyaring dan bertaring dengan bergabungnya sejumlah organisasi mitra. Satu yang cukup heboh adalah Bloomberg Initiative (BI). Michael R. Bloomberg, seorang Yahudi AS, pengusaha kaya raya, walikota New York City tiga periode, adalah tokoh di balik BI. Tahun 2006 ia menggelontorkan 125 dollar AS, lalu 250 dollar AS di tahun 2008, dan bersama Bill Gates, Bloomberg sukses menghimpun donasi gabungan sejumlah 500 dollar AS. Apa kepentingan Bloomberg tidak sulit dibaca, Walikota New York City ini dikabarkan membela mati-matian para eksekutif farmasi yang dikambinghitamkan dalam perdebatan layanan kesehatan. Bill Gates? Ia kini sudah punya saham di industri farmasi.


Bloomberg pula yang menghebohkan Indonesia dengan “sumbangan” hampir 4 miliar rupiah ke organisasi keagamaan Muhammadiyah. Pengusaha Yahudi itu juga menggelontorkan miliaran rupiah ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Dinas Kesehatan Kota Bogor, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan, Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), Pusat Dukungan Kontrol Tembakau/Tobacco Control Suport Centre, Indonesian Public Health Association (TCSC-IPHA), Komisi Perlindungan Anak Nasional Indonesia (KPAI/NCCP), Pertemuan Jaringan Kontrol Tembakau Indonesia (NGO) pada 2009, Swisscontact Indonesia Foundation, dan Institut Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


***


Ketika kampanye anti rokok makin intensif, impor tembakau ke Indonesia justru meningkat. Tahun 2003 impor tembakau sebanyak 29.579 ton, meningkat di tahun 2004 jadi 35.171 ton, terus bertambah di tahun 2005 jadi 48.142 ton, dan di tahun 2007 mencapai 69.742 ton. Tidak hanya itu, ternyata impor rokok ke Indonesia juga sangat besar, mencapai 520.000 ton per tahun.


Dan ketika kampanye anti rokok makin intensif, dua industri besar kretek nasional justru diambil alih asing. Tahun 2005, 98% saham Sampoerna diakuisisi Philip Morris. Menyusul tahun 2009, 85% saham Bentoel diakuisisi British American Tobacco (BAT). Di sisi lain, ratusan industri kecil kretek gulung tikar karena kenaikan cukai.


Penting dicatat, Philip Morris dan BAT –dua produsen rokok putih- sempat melakukan kampanye besar melawan peredaran kretek dengan membawa isu kesehatan (tingginya kadar tar dan nikotin pada kretek). Raksasa rokok dunia itu ada di balik terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 1999 yang menyudutkan kretek. Presiden Abdurrahman Wahid melalui PP No. 32 Tahun 2000, berikutnya Presiden Megawati melalui PP No. 19 Tahun 2003, menumpulkan taring mereka. Tapi “perjuangan” Philip Morris dan BAT tidak selesai sampai di situ. Strategi mereka berikutnya: akuisisi! Sukses. Kalau dulu mereka memerangi kretek dengan isu kesehatan, sekarang mereka memproduksinya.


Kampanye anti rokok, selain merupakan perang akbar industri farmasi dengan industri rokok, adalah juga strategi merebut pasar rokok Indonesia, dan bahkan strategi merebut rokok Indonesia (kretek). Kretek dan industrinya, satu dari sedikit produk unggulan dan industri nasional yang kuat, sedang terus dirongrong. Kretek adalah yang kesekian kalinya. Sebelumnya sudah banyak industri nasional mati karena modus yang kurang lebih sama, katakanlah: minyak kelapa dan garam.


Akhirnya ini bukan soal kretek belaka, tapi lebih substansiil lagi adalah soal kemandirian bangsa. Hadratusyekh Hasyim Asy’ari pernah menfatwakan “hubbul wathan minal iman” (mencintai tanah air sebagian dari iman) untuk mengobarkan semangat jihad mempertahankan kemerdekaan pada 10 November 1945 di Surabaya. Barangkali “sah” juga jika mencintai kretek “difatwakan” menjadi sebagian dari iman, untuk mengobarkan semangat jihad mempertahakan kemandirian bangsa dari rongrongan asing. Merdeka!


Jogja, 17 Agustus 2010


Sumber : Abhisam DM


share on facebook

Tuesday 21 September 2010

Selamat Datang

Jam di dinding menunjukkan pukul 10 pagi, Ibu saya masuk ke kamar saya dan membangunkan saya. "Ndang tangi Le, terke Ibuk'e neng Bidan, Mbak'e wes arep babaran" [Cepat bangun Nak, antarkan Ibu ke Bidan, Mbakmu sudah mau melahirkan"] teriak Ibu saya. Wess... secepat kilat saya langsung ganti celana panjang dan cuci muka. Walau rasa kantuk sisa begadang menjaga Warnet semalam masih belum hilang, saya sudah nggak peduli. mengantuk

Saya samber HP, dompet, serta sebungkus rokok dan langsung mengantar Ibu ke Bidan dengan motor. Begitu sampai di rumah Bu Bidan, ternyata Bu Bidannya belum pulang dari Puskesmas tempat beliau bertugas, akan tetapi di situ ada asistennya yang siap membantu proses kelahiran nanti. Kemudian Ibu pun segera menghubungi Mas saya agar segera membawa Mbak saya ke rumah Bu Bidan tersebut.

Beberapa saat kemudian Mas saya datang berboncengan bersama Mbak. Dengan tertatih-tatih dan menahan sakit Mbak saya berjalan menuju rumah Bu Bidan. Saya sulut 1 batang rokok untuk mengusir rasa kantuk yang masih menempel sambil berpikir. "Gila... berat banget nih jadi sosok perempuan yang sedang hamil. Mana saat proses melahirkan yang dipertaruhkan nyawa lagi. Ah... benar-benar kebacut kalau ada seorang anak yang durhaka sama ibunya".
Cukup lama kemudian Bu Bidan pun datang, setelah keadaan dirasa kondusif saya dan Ibu saya pulang kembali ke rumah. Di rumah masih ada pekerjaan ketikan yang harus saya selesaikan.

Sekitar jam 2 siang hari Selasa tanggal 21 September 2010, Alhamdulillah lahirlah dengan selamat sesosok bayi laki-laki. Yah... keponakan baru bagi saya tersenyum lebar. Kemudian dengan meminjam mobil milik tetangga sebelah rumah, Ibu beserta beberapa tetangga menjemput si bayi. Oiya tidak lupa Vania, anak pertama dari Mas saya juga turut serta dalam rombongan [sepertinya dia sudah nggak sabar pengen lihat adeknya tertawa].

Saya pun kebagian tugas menyiapkan lubang untuk mengubur ari-ari si bayi plus lampu penerangannya. Sementara ibu-ibu tetangga yang lain mulai sibuk memasak di dapur menyiapkan masakan guna selamatan sederhana [biasa disebut Brokohan]. Brokohan sendiri adalah tradisi Jawa yang konon katanya diserap dari bahasa Arab "Barokah", tujuan dari Brokohan tersebut adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas lahirnya seorang anak dengan selamat.

Selepas maghrib rombongan dan bayi datang. Langsung disambut senyum gembira dari pihak keluarga dan tetangga sekitar. Beberapa saat kemudian acara Brokohan pun digelar dengan mengundang tetangga-tetangga dekat. Do'a pun dipanjatkan agar nantinya si bayi bisa menjadi anak yang sholeh, berbakti kepada orang tua, berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

Haha... selamat datang wahai "Dimas Fakhri Putra Ariyanto", kenalkan I'm your uncle... peluk erat

share on facebook

Monday 20 September 2010

Mudik - Lebaran - Balik

Pengen bercerita tentang kegiatan dan pengalaman selama mudik lebaran, berlebaran, dan balik dari mudik lebaran. Cerita ini hanya untuk kepentingan diary semata, jika ada kesamaan tokoh dan tempat itu memang disengaja oleh penulis. tersenyum lebar

Mudik
Saya mudik hari Selasa, tanggal 07 September 2010 menuju Dusun Tegalrejo, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman-Yogyakarta, tempat asli dari Bapak dan Ibu saya. Berangkat dari rumah Bangsalsari-Jember sendiri saja karena Bapak sudah mudik terlebih dahulu, sementara Ibu dan Adik saya tidak mudik. Ibu dan Adik lebaran tahun ini memilih menunggu rumah sekaligus menunggu calon cucu keduanya lahir [anak dari Kakak saya].
Perjalanan menuju Yogyakarta biasa saya tempuh dengan menggunakan angkutan bus umum kelas ekonomi. Berangkat dari terminal bus Tawangalun Jember sekitar jam 8 malam. Perjalanan relatif lancar, suasana bus juga relatif longgar tidak penuh sesak. Yah... hanya 1 permasalahan yang saya hadapi tiap melakukan perjalanan jauh dengan angkutan umum, yaitu tidak tahan dengan pegal-pegal yang saya rasakan di bagian kaki dan [maaf] pantat karena duduk diam kurang lebih selama 10 jam. Hah... terasa menyiksa. tertawa
Sampai di Yogyakarta sekitar jam 7 pagi, langsung disambut oleh Bapak saya yang sudah stand by menjemput dan membonceng saya menuju rumah Kakek di dusun. Sepanjang perjalanan saya pandangi keadaan sekitar, masih sama seperti dulu tidak banyak yang berubah. Sawah-sawah masih luas terbentang, pohon-pohon hijau masih tumbuh dengan lebat, rumah-rumah masih berdiri dengan corak khas bangunan desa, serta keadaan masyarakat yang masih tampak sederhana dan bersahaja.
Beberapa jam sesampainya di rumah, Pak Lik saya yang juga berdomisili di Jember datang, ternyata beliau dan keluarganya juga mudik [kalau tau mau mudik, kan bisa bareng... siapa tahu ongkos bus saya dibayari tertawa], kemudian sore harinya Bu Lik saya yang domisili di Gresik juga datang bersama keluarganya. Yah... Alhamdulillah rumah Kakek menjadi ramai dengan datangnya 3 orang anaknya dari rantau bersama 2 orang menantu plus 5 orang cucunya.

Lebaran
Alhamdulillah tidak terasa hari lebaran pun tiba. Saya pun ikut berbondong-bondong bersama masyarakat sekitar untuk menunaikan sholat Idul Fitri di masjid desa. Setelah sholat Idul Fitri usai, saatnya untuk melakukan tradisi sungkeman kepada orang yang lebih tua. Tradisi di sini sangat berbeda jauh dengan di Jember. Di Jember suasana lebaran menurut saya kurang terasa, tradisi salaman hanya sebatas berjabat tangan saja [entah itu dengan yang muda ataupun dengan orang yang lebih tua], sementara di Yogya tradisi salaman dari orang yang lebih muda ke orang yang lebih tua tidak hanya sebatas berjabat tangan, akan tetapi dilanjutkan dengan kata-kata yang cukup panjang, yang intinya berisi ucapan permohonan maaf yang mendalam sambil menjabat erat tangan orang yang lebih tua.
Sementara orang yang muda mengungkapkan rasa permohonan maafnya, orang yang lebih tua mengamininya. Begitu sebaliknya, setelah orang yang lebih muda memohon maaf kepada orang yang lebih tua, maka orang yang lebih tua pun meminta maaf dan mendoakan orang yang lebih muda agar senantiasa bisa menjadi manusia yang bermanfaat serta sehat lahir dan bathin, dan orang yang lebih muda pun mengamininya. Jadi tradisi berjabat tangan atau lebih tepatnya sungkeman memakan waktu yang cukup lama. Dan perlu anda ketahui bahwasannya hal tersebut benar-benar terasa dalam hati, bahkan saya bisa dipastikan selalu menitikkan air mata, terutama saat sungkem kepada kedua orang tua saya, utamanya lagi saat sungkem kepada Ibu. Mungkin anda anggap saya itu orang yang cengeng tertawa, tapi ya begitulah kenyataannya. Sekuat apapun hati dan mata untuk menahan air mata toh akhirnya air mata leleh juga.
"Taqabalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum. Nyuwun agunging pangaksami sedaya kalepatan kula dumateng Ibu. Mugi-mugi sedaya kalepatan kula saget dipun lebur kalihan Gusti Allah ing dinten riyadin menika." ["Taqabalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala dosa dan kesalahan saya kepada Ibu. Mudah-mudahan semua dosa dan kesalahan yang pernah saya perbuat bisa diampuni oleh Allah di hari raya ini"]. Begitulah kurang lebih bahasa sungkeman yang biasa saya sampaikan kepada orang yang lebih tua.
Setelah acara sungkeman di keluarga besar usai, kegiatan dilanjutkan dengan silaturrahmi mengunjungi tetangga sekitar. Kegiatan ini terasa lama ya karena tradisi sungkeman plus ungkapan itu tadi, belum lagi ditambah acara jagongan. Untuk bersilaturrahmi komplit rumah sedusun, biasanya diperlukan waktu 1 hari tertawa Ya... 1 hari khusus untuk berilaturrahmi orang sedusun.
Untuk hari-hari selanjutnya saya biasanya diam di rumah sambil nunggu saudara-saudara yang jarak rumahnya agak jauh. Maklum, Kakek saya bisa dikatakan sesepuh baik di kalangan dusun maupun di kalangan saudara-saudara, jadi saudara-saudara jauh saya bisa dipastikan akan bersilaturrahmi ke rumah Kakek saya.
Diantara saudara-saudara jauh yang bersilaturrahmi tersebut tampaklah seseorang gadis yang cantik jelita berguling di lantai. Sumpah baru kali ini saya tahu kalau saya ternyata memiliki saudara jauh yang cantik haha... Alhasil saya pun menjadi bahan guyonan Pak Lik saya. "Tuh... cakep, udah PDKT sana, nikah sama dia aja, nanti kan enak bisa tinggal di sini sambil nemani Pak Puh [Kakek saya]", canda Pak Lik. Saya cuma cengar-cengir nggak jelas. pipi memerah


Balik
Saya balik dari Yogya menuju Jember giliran terakhir sendiri. Minggu [12/09] pagi dimulai Pak Lik saya balik ke Jember. Kemudian Minggu sorenya Bapak saya balik. Senin [13/09] pagi giliran Bu Lik saya pulang ke Gresik, dan Senin sorenya baru saya balik sendirian ke Jember. Tujuan arus balik digilir seperti itu tidak lain dan tidak bukan agar suasana rumah Kakek tidak serta merta langsung sepi. Yah... paling nggak suasana sepi bisa berjalan secara berangsur-angsur. Sebenarnya saya sendiri merasa kerasan di sana [sumpah, bukan karena cewek cakep seperti cerita di atas tertawa], saya kerasan lebih karena suasana desa yang nyaman, suasana desa yang tenteram dengan segala kesederhanaannya. I Love It...!!
Tapi apalah daya, saya sudah janji bahwa Selasa malam untuk kumpul-kumpul silaturrahmi bersama teman-teman PMR jaman SMA di Jember dulu [maaf nyombong dikit, sebagai informasi jaman SMA dulu saya ini Ketua Umum PMR lho], kemudian hari Rabunya temen-temen SMP ngajak kumpul-kumpul reuni juga [nyombong lagi, jaman SMP dulu saya adalah Ketua Kelas pipi memerah]. Jadi sebagai mantan Ketua Kelas dan mantan Ketua PMR yang baik saya harus memenuhi janji saya.
Yup... waktu untuk balik ke Jember pun tiba, saya minta tolong saudara saya [sekali lagi bukan saudara cewek yang cakep tadi... halah] untuk mengantarkan saya ke terminal bus Giwangan Yogyakarta. Sesampainya di sana, bus jurusan Yogya-Banyuwangi ternyata baru sampai dan langsung diserbu penumpang yang akan balik ke kota perantauan masing-masing. Alhamdulillah masih dapat tempat duduk.
Ada cerita menarik nih pas di dalam bus, saya kan duduk di bangku yang isi 3 orang, setelah saya duduki otomatis kan masih ada sisa bangku kosong untuk 2 orang, nah pada saat itu ada sekelompok keluarga besar [kalo' nggak salah ada 6 orang], setelah masing-masing mencari tempat duduk, finally si Ibu dan anak perempuannya belum menemukan tempat duduk, kemudian si Bapak [suami si Ibu tadi] menyarankan agar duduk bersebelahan dengan saya. "Duduk dengan Mas itu aja, Ma", kata si Bapak tadi dengan harapan agar bisa kumpul lebih dekat dengan anggota keluarga lainnya yang sudah menemukan tempat duduk. Si Ibu tadi cuma menatap saya, sambil geleng-geleng kepala dan memilih tempat duduk agak jauh di depan. Busyet... seketika itu juga saya berpikir, apa iya wajah saya ini tampang kriminal kok sepertinya si Ibu tadi takut dan nggak percaya kepada saya berguling di lantai.
Haha... ingin rasanya teriak kencang dan menyanyikan salah satu lagunya SLANK :
"Memang rambutku memang panjang... Jangan menghina yang penting bukan telanjang... Memang kantongku memang kering... Jangan menghina yang penting bukannya maling. Memang jaketku memang kotor... jangan menghina yang penting bukan koruptor"
Yah... beginilah Slankers masih dianggap kaum minor oleh sebagian orang tertawa [semoga itu hanya perasaan saya saja].
Waktu menunjukkan jam 4 sore, bus pun mulai berangkat, keluar dari Yogyakarta suasana dalam bus masih agak longgar, akan tetapi sesampainya di terminal bus Tirtonadi Solo, bus diisi kembali oleh penumpang hingga terpaksa sang kondektur bus menyediakan bangku tambahan [bangku plastik yang diletakkan di sepanjang jalan kosong di dalam bus], alhasil suasana bus penuh sesak, mana ada penumpang yang membawa bayi dan nangis terus sepanjang perjalanan. Hah... kacau dah, sumpek, wawut-wawutan, tapi yah itulah seninya mudik.
Perjalanan balik tidak semulus perjalanan mudik. Sepanjang jalan dari Sragen, Ngawi hingga Madiun macet. Bus hanya berjalan sangat pelan, hingga membuat jadwal perjalanan dan pemberangkatan bus menjadi terlambat. Perhitungan saya kalau berangkat dari Yogyakarta jam 4 sore biasanya sampai di rumah Jember sekitar jam 2 atau jam 3 pagi. Tapi waktu itu saya sampai di rumah Jember jam 7 pagi...!!
Hah... it's ok lah, yang penting saya selamat sampai tujuan. Alhamdulillah...!!

Itulah sekelumit diary saya selama berlebaran. Lumayan seru... Bagaimana dengan anda?? tersenyum lebar


share on facebook

Tuesday 7 September 2010

Lebaran

Alhamdulillah... Beberapa hari lagi kita akan memasuki Hari Lebaran alias Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Tidak terasa sungguh tidak terasa Bulan Ramadhan sebentar lagi akan berlalu. Pertanyaan yang sering muncul di saat Bulan Ramadhan akan berlalu adalah, "Akankah kita akan dipertemukan lagi dengan Bulan Ramadhan di tahun depan??" Semoga... Amin Ya Rabb.

Menjelang lebaran ada tradisi unik yang mungkin hanya terjadi di Indonesia, yaitu tradisi mudik alias pulang kampung. Tradisi ini umumnya dilakukan oleh mereka yang berada di tanah rantau yang kemudian memanfaatkan moment libur Hari Raya Idul Fitri untuk pulang di kampung halaman guna berlebaran bersama keluarga.

Begitu pun dengan saya senang
Hari ini saya berencana untuk mudik ke kampung halaman Bapak dan Ibu saya di Yogyakarta, jadi saya mohon maaf, posting blog untuk sementara saya hentikan terlebih dahulu sampai saya kembali dari Yogyakarta. Dan untuk sahabat-sahabat lain yang juga akan mudik, hati-hati di jalan, saya doakan semoga selamat sampai tujuan, semoga kerinduan yang sempat tertahan untuk kumpul bersama keluarga bisa segera dilampiaskan. Have a nice day.


Oiya, tidak lupa saya ucapkan :

"Taqabalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum. Minal 'aidin wal faizin"

"Saya mohon maaf lahir dan bathin kepada segenap saudara, rekan, dan seluruh sahabat blogger di manapun berada jikalau saya ada salah dan khilaf
baik yang saya sengaja maupun yang tidak disengaja."

"Mata seringkali salah melihat, mulut seringkali salah berucap, hati seringkali salah berprasangka, dan tulisan seringkali salah ketik.
Untuk semua kesalahan tersebut saya mohon maaf yang sebesar-besarnya"



SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H

Jember, 07092010


share on facebook

Friday 3 September 2010

Tradisi Ater-ater

Apa itu Tradisi Ater-ater??
Ater-ater merupakan kata dalam bahasa Jawa. Secara etimologi diserap dari bahasa Indonesia antar atau mengantar [halah... sumpah ini hanya karangan saya saja, mohon maaf kalo salah tersenyum lebar]. Sedangkan menurut terminologi, Tradisi Ater-ater adalah suatu tradisi mengantar atau mengirim atau memberi sesuatu [umumnya berupa makanan] kepada tetangga dan saudara.

Tradisi Ater-ater berkembang dalam tatanan masyarakat Jawa [khususnya di Jawa Timur]. Tradisi ini mungkin saja sudah ada sebelum bangsa Indonesia merdeka. Prosesnya adalah dengan mengantar atau memberikan sebuah paket makanan [umumnya terdiri dari nasi dan lauk pauk, dan kadangkala ditambah dengan kue atau buah] kepada tetangga dan saudara dalam rangka memperingati sesuatu hal.

Memperingati sesuatu hal apakah itu?
Bisa karena ada warga yang mengadakan hajatan [khitanan atau pernikahan], moment suatu bulan [rajab, awal ramadhan], seminggu menjelang hari raya idul fitri, seminggu selepas hari raya idul fitri [kupatan], dan lain sebagainya. Untuk suatu hajatan, biasanya Ater-ater hanya dilakukan oleh pihak yang mempunyai hajat dan memberikan kepada tetangga serta saudara sekitar. Sementara untuk moment-moment yang lain [seperti pada bulan rajab, menjelang ramadhan, menjelang idul fitri] kegiatan Ater-ater dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat yang mampu, artinya tiap-tiap orang yang mampu untuk Ater-ater [sepertinya berkewajiban] untuk memberikan makanan kepada tetangga dan saudara, hingga bisa dikatakan terjadi suatu proses pertukaran menu dan masakan dalam masyarakat tersebut. tersenyum lebar

Seperti hari ini, seminggu menjelang hari raya idul fitri, masyarakat di sekitar mulai disibukkan dengan kegiatan Ater-ater, termasuk keluarga saya. Orang tua wanita sibuk memasak di dapur, sementara remaja putri sibuk berkeliling Ater-ater ke rumah tetangga sekitar. Fenomena seperti ini umum ditemui di desa-desa [seperti di desa saya contohnya]. Saya sendiri bingung apa sebenarnya makna dari Ater-ater tersebut, orang tua hanya bilang bahwasannya ini adalah sebuah tradisi, tapi bukankah suatu tradisi tentunya memiliki maksud dan tujuan hingga bisa terus dilaksanakan?? Pasti ada manfaatnya kan?? Kalau tidak ada manfaatnya, mengapa harus dilaksanakan??

Hmmm... akhirnya saya membuat suatu kesimpulan dari pemikiran saya sendiri tentunya, bahwasannya Tradisi Ater-ater tersebut [mungkin] bertujuan :
  • Meningkatkan rasa persaudaraan antar warga. Hal ini tercermin dari kegiatan pertukaran menu masakan, artinya orang bawah dan menengah bisa merasakan masakan orang atas, begitu pula orang atas bisa merasakan masakan orang bawah dan menengah.
  • Sebagai pertanda atau peringatan akan datangnya suatu moment yang spesial. Dengan adanya Ater-ater seolah kita diperingatkan bahwa sebentar lagi sudah memasuki bulan ramadhan, atau sebentar lagi sudah memasuki hari raya idul fitri.
  • Sebagai bentuk rasa syukur karena kita masih diberi kesempatan untuk mengikuti moment spesial tersebut.
Mungkin itu yang bisa saya jelaskan tentang Tradisi Ater-ater yang saat ini masih berjalan dalam masayrakat Jawa, khususnya Jawa Timur, khususnya lagi di desa-desa. Mohon maaf kalau penjelasannya terlalu ngawur, karena ini hanya penjelasan dan pendapat pribadi tertawa.

share on facebook