"Berkhayal lah seluas biru langit, berpikir lah sedalam biru laut, horizontal sama rata sama rasa. Buka jendelamu lalu pandanglah, buka pintumu ayo keluarlah, bebas lepas lepaskan kebebasan. Jangan takut keluarlah, hadapi dunia dengan menari" [Slank Dance].

Sunday 30 March 2014

Pesona Pantai Bandealit


Pernah dengar nama Pantai Bandealit?

Mungkin bagi warga Kabupaten Jember, nama Pantai Bandealit sudah tidak asing lagi. Yup... Pantai Bandealit merupakan salah satu daya tarik wisata alam Kabupaten Jember. Pantai Bandealit terletak di Desa Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember. Secara geografis pantai ini terletak di sisi selatan Kabupaten Jember, yang merupakan bagian dari area konservasi Balai Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember, masih satu gugusan dengan kawasan wisata alam Teluk Hijau dan Pantai Sukamade yang terletak di Kabupaten Banyuwangi.
Lalu apa bedanya Pantai Bandealit dengan pantai-pantai lain di Kabupaten Jember, seperti Pantai Watu Ulo atau Pantai Papuma?? Wuaaa... Juelas beda...!! Pantai Bandealit merupakan pantai yang bersih dan alami, bisa saya simpulkan bahwa kawasan wisata Pantai Bandealit benar-benar menyuguhkan pemandangan dan suasana alam yang masih "perawan", beda dengan tempat wisata lain.

Pada tahun 2012 dulu, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Pantai Bandealit dan nge-camp semalam di sana. Saya ke Pantai Bandealit bersama 4 orang teman saya. Transportasi yang kami gunakan adalah sepeda motor. Beberapa kilo sebelum sampai ke Pantai Bandealit, kami harus melewati jalan makadam yang cukup membuat pengendara sepeda motor terpontang-panting.Akan tetapi lelahnya perjalanan kami nyatanya bisa terbalas oleh keindahan Pantai Bandealit. Pemandangan birunya laut pantai selatan dengan deburan ombaknya yang khas mampu membuat kami sejenak melupakan lelah. Awesome...!!
Selain untuk menikmati indahnya suasana pantai, tujuan kami ke Pantai Bandealit adalah untuk memancing ikan.

Sesaat setelah sampai di pantai dan puas memanjakan mata, kami segera menyusuri pasir pantai yang bersih menuju ke tumpukan batu karang untuk memulai kegiatan memancing. Peralatan pancing sudah dikeluarkan, dan kegiatan memancing pun dimulai. Saat itu saya sendiri kurang begitu tertarik untuk ikut kegiatan memancing, saya lebih tertarik untuk mendokumentasikan kegiatan teman-teman saya, dan tentunya mendokumentasikan keindahan Pantai Bandealit itu sendiri dengan kamera yang sudah saya bawa. Di sela-sela kegiatan dokumentasi, saya sempatkan untuk mengeluarkan kompor lapangan guna membuat kopi. Kopi sudah jadi sesuai jumlah orang yang ada, dan siap disruput. Maknyus tenan.
Sampai sore hari teman-teman yang memancing ternyata tidak mendapatkan hasil sama sekali hehehe. Akhirnya diputuskan kegiatan memancing disudahi, kami segera bergegas pindah untuk mencari tempat mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, kami pun duduk di atas pasir, menikmati indahnya sunset Pantai Bandealit. Terasa begitu damai.
Malam hari pun tiba, paman salah satu teman saya yang memang berdomisili di dekat Pantai Bandealit datang sambil membawa bungkusan nasi, beberapa gelas air mineral, dan jala. Hohoho... sepertinya kegiatan mencari ikan di malam hari ini akan terasa lebih seru. Tiga orang teman saya ikut menjala ikan, sementara saya dan satu orang lagi bertugas menjaga tenda dan menyibukkan diri memasak mie instan plus segelas kopi untuk makan malam. Para pencari ikan sudah datang dengan membawa beberapa ikan kecil yang kemudian langsung kami bakar dan kami santap. Nikmatnyoo...!!
Malam semakin larut, kemudian kami memutuskan untuk beristirahat di dalam tenda, dengan iringan suara debur ombak, dinginnya angin laut, dan terkadang suara rusa-rusa yang turun dari dalam hutan untuk mencari minum di aliran sungai yang menuju ke pantai, kami semua pun terlelap.

Pagi hari menjelang, keindahan Pantai Bandealit semakin jelas menampakkan wujudnya. Berteman segelas kopi dan sebungkus rokok saya duduk di atas pasir memandang lautan lepas. Sementara beberapa teman ada yang masih mencoba peruntungan melemparkan kail pancing ke pantai hehehe. Pandangan saya alihkan ke atas, tampak Elang Jawa terbang bebas berputar-putar. Cool...!! Seperti yang telah saya sebutkan di awal tadi, bahwasannya Pantai Bandealit merupakan area konservasi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember, jadi di sini "bermukim" pula aneka flora dan fauna yang dilindungi, seperti Elang Jawa, Rusa, Banteng, bunga Rafflesia, dan lain sebagainya.
Beberapa saat kemudian, salah satu teman saya mengajak untuk berjalan-jalan ke Goa Jepang. Mulailah kami berdua berjalan menyusuri pantai ke arah barat. Melintasi beberapa batu karang, kemudian masuk lewat jalan setapak menyusuri rimbunan pohon dan semak-semak, sampailah kami di Goa Jepang. Sebuah bangunan bekas milik tentara Jepang saat jaman penjajahan dulu. Bangunan ini digunakan sebagai pos pemantau laut dan pantai untuk jaga-jaga serta waspada kalau-kalau ada kapal laut yang datang. Saya sempatkan masuk ke dalam bangunan, dan ternyata memang benar, dari sebuah celah mirip jendela yang ada pada bangunan tersebut, kita bisa bebas melihat lautan luas yang jauh berada di depan sana. Keren hehehe.
Tidak lama kemudian, kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Sesampainya di tenda, kami semua berkemas dan mengumpulkan sampah-sampah bungkus mie instan bekas acara masak-masak semalam untuk nantinya kami buang di tempat sampah. Yaa... sebenarnya kita-kita sebagai pengunjung tempat wisata punya andil yang cukup besar untuk tetap menjaga kebersihan, kenyamanan, dan keasrian sebuah tempat wisata. Setuju?!
Berkemas-kemas sudah selesai. Selanjutnya kami ambil motor yang kami parkir di belakang tenda dan melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang ke rumah. Terima kasih atas eksotisme dan keindahan Pantai Bandealit, terima untuk teman-teman semua atas kebersamaannya, dan terima kasih untuk Bapak Nasir (paman teman saya) yang ikut menemani dan mencarikan kami ikan sebagai tambahan menu makan malam.

"Tulisan ini didedikasikan untuk Jember dan Firman Yursak"

share on facebook

Friday 28 March 2014

Menggapai Puncak Mahameru

Sudah beberapa kali ke Gunung Semeru, tapi untuk kali ini saya akan posting dokumentasi pendakian tanggal 06 - 09 September 2013 kemarin (lagi-lagi cerita tahun 2013 diposting sekarang. Nggak apa-apa, dari pada nggak diposting sama sekali hehe). Teman pendakian saya ke Gunung Semeru kali ini adalah Dayat, dan Pras. Proses pendakian berjalan dengan lancar, menyenangkan, dan seru. Tanggal 06 September 2013 (Pos Perijinan Ranu Pani - Ranu Kumbolo), 07 September 2013 (Ranu Kumbolo - Kalimati), 08 September 2013 (Kalimati - Puncak Mahameru - Kalimati - Ranu Kumbolo), 09 September 2013 (Ranu Kumbolo - Pos Perijinan Ranu Pani - Pulang). Dapat teman akrab rombongan dari Semarang, yeah tambah maneh sedulure. Sudah, cukup sekian saja ceritanya dan terima kasih. Piss. Hahahaha.





share on facebook

(Mencoba) Mendaki Gunung Raung *Edisi Tersesat

Untuk cerita pendakian kali ini saya nggak akan terlalu banyak cerita. Langsung ke intinya saja ya. Jadi begini ceritanya, tanggal 09 Mei 2013 (inget tahun 2013, dan sekarang sudah tahun 2014...!!), saya bersama Dayat berencana mendaki ke Gunung Raung yang terletak di batas 2 kabupaten, yakni Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi - Jawa Timur.
Saat di pos perijinan, Ibu Endang, sang juru perijinan mengatakan bahwa kami berdua adalah orang pertama yang akan menuju ke sana, karena beberapa bulan kemarin pendakian ke Gunung Raung sempat ditutup terkait dengan kondisi gunung yang bergejolak. Nah, Ibu Endang juga mendapat informasi dari warga sekitar bahwa jalur pendakian sudah mulai nggak jelas, karena rumput dan semak-semak sudah mulai tinggi. Untuk itu kami berdua diharapkan hati-hati, jika sewaktu di perjalanan nanti hati merasa tidak pas, mending kembali ke pos perijinan daripada tetap melanjutkan perjalanan. Berbekal peralatan mendaki komplit plus sebuah peta dari pos perijinan, kami pun mulai berangkat.
Sejak awal perjalanan sebenarnya kami sudah mulai bingung, tanda-tanda jalur pendakian masih belum ada, kami berpikir mungkin karena masih menyusuri ladang-ladang penduduk, jadi tanda jalur pendakian tidak terlalu dibutuhkan. Beberapa kali kami tanya ke penduduk sekitar yang sedang meladang ke mana arah jalur pendakian. Sampai akhirnya senja hari kami pun lepas dari ladang penduduk dan mulai memasuki area hutan. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda.
Esok harinya perjalanan kami lanjutkan, sampai di persimpangan jalan kami sempat bingung, lihat peta pun bingung hahaha. Jalan ke kanan jalurnya tidak jelas, tidak ada tanda-tanda jalur pendakian. Jalan lurus jalur jalan setapak terlihat jelas. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk lurus saja.
Kami ikuti terus jalan setapak tadi, melewati pohon-pohon besar, melewati rumput ilalang yang tinggi, melewati semak-semak belukar, tapi tanda-tanda keberadaan pos seperti yang digambarkan di peta nggak ada sama sekali. Sore hari kami memutuskan mencari tempat untuk mendirikan tenda. Malam hari kami rapat dan mendapat kesimpulan bahwa kami TERSESAT hahaha.... Sepertinya jalur yang kami lalui adalah arah ke Gunung Suket, bukan ke Gunung Raung. Yeah... perfect...!!
(Walau tersesat masih saja sempat berfoto-foto ria... Itulah kami hahaha)

Pagi hari baru terlihat posisi Gunung Raung berada di sisi kanan lembah (sementara kami berada di sisi kiri lembah), hal itu semakin membuat kami yakin, bahwa kami memang TERSESAT ngik... Akhirnya kami memutuskan untuk kembali saja ke pos perijinan. Sewaktu pulang pun kami sempat kebingungan karena rasa-rasanya jalan yang dilalui saat berangkat nggak sama dengan saat kami pulang pada waktu itu hahaha. Banyak jalan-jalan kecil, yang sepertinya merupakan jalan orang pencari kayu. Yeah... perfect. Seperti biasa, saat bingung melanda, kami orientasi medan. Keril ditaruh, rokok dinyalakan, kami berpencar menjadi jalur yang tepat. Alhamdulillah akhirnya ketemu juga. Lanjut jalan, sampai di pertigaan (di mana saat berangkat kami kebingungan) kami temui tanda jalur pendakian ke arah kanan (bukan lurus). Lhoh?? Pas kami berangkat ini tanda pita nggak ada, kok sekarang ada?? Masih baru ini. Wah kok baru dipasang ya?? Hehehe... memasuki ladang penduduk, tanda pita jalur pendakian masih ada. Kami masih terus saja lanjut jalan, lanjut jalan, dan terus lanjut jalan.
Akhirnya sampai juga di pos perijinan, di sana kami bercerita apa adanya ke Ibu Endang, bahwa kami nggak sampai ke Gunung Raung, tetapi kami TERSESAT 2 hari di dalam hutan hehehe. Kami juga sempat menanyakan perihal tanda pita yang kami temui saat perjalanan pulang. Ibu Endang pun menjelaskan, bahwa pita-pita itu baru dipasang kemarin, karena hari ini ada tamu pendaki mancanegara, kalo' nggak salah dari Perancis atau Belanda ya?? Ah lupa... Saya pun mbatin, haduuuww, giliran kami mendaki dibiarkan aja, giliran ada tamu dari luar negeri, baru deh tanda jalur pendakian dipasang hahaha.
Tapi nggak apa-apalah, masih banyak hikmah yang bisa diambil, diantaranya kami masih bisa menikmati pemandangan alam yang indah, bisa belajar lebih dalam lagi mengatasi masalah tersesat (point utamanya sih jangan bingung hehe), dan tentunya suatu saat kami akan kembali lagi untuk mencoba mendaki ke Gunung Raung. Wassalam.

share on facebook

Thursday 27 March 2014

Gunung Argopuro Via Baderan


Oke pemirsa, masih tetap bersama saya dan Dayat. Kita berjumpa lagi dalam sebuah acara yang bercerita tentang indah dan serunya petualangan di alam bebas. Inilah acara "Jejak Gelandangan", Cerita Jejak Manusia yang GEmar jalan-jaLAN DAn petualaNGAN *Eng ing eng (seperti acara petualangan di tipi-tipi itu lho). Nah, untuk acara kali ini, kami akan bercerita mengenai petualangan seru kami menuju Puncak Rengganis, Gunung Argopuro start via Desa Baderan, Kec. Sumbermalang, Kab. Situbondo dan finish di Desa Bremi, Kec. Krucil, Kab. Probolinggo - Jawa Timur.
Penasaran seperti apa cerita petualangan seru kami? Jangan lupa saksikan acara "Jejak Gelandangan" setiap Malam Minggu, di tipi kesayangan tetangga anda *Lah. Baiklah langsung saja, kita segera menuju ke Te Ka Pe.....

Tanggal 01 Maret 2013 malam (cuk, baru sempat diposting setahun kemudian... gendheng!!), dari rumah saya berangkat menuju kosannya Dayat di Situbondo. Setelah sampai di sana, rencananya malam itu kami akan langsung beli kebutuhan logistik, tapi ternyata hujan turun dengan deras, terpaksa rencana membeli kebutuhan logistik kami tunda besok pagi.

02 Maret 2013
Hujan semalam masih menyisakan mendung di pagi ini. Tapi bagaimana pun juga pagi ini kami harus tetap belanja kebutuhan logistik untuk pendakian nanti. Masuk dari toko satu ke toko lainnya untuk melengkapi kebutuhan logistik akhirnya selesai sudah. Setelah packing segala macam, kurang lebih jam 09.00 WIB kami berangkat. Tujuan awal adalah rumah teman Dayat di daerah Kec. Suboh, Kab. Situbondo. Dari rumah teman Dayat ini nantinya kami akan diantarkan menggunakan sepeda motor menuju pos perijinan Gunung Argopuro di Desa Baderan. Perjalanan dengan motor menuju rumah teman Dayat lumayan menyiksa raga (ceilee). Bayangin aja, Dayat sebagai joki motor dengan tetap menggendong keril besar, sementara saya bonceng di belakang dengan sisa jok yang nggak seberapa juga menggendong keril besar. Byuh rasane ampuuuun, capek plus pegel, karena kaki harus kuat menahan badan yang terasa ketarik ke belakang hahaha. Ngeeeeng... Cukup lama motor berjalan, akhirnya sampai juga kami di rumah temannya Dayat. Istirahat sejenak, ngopi, ngrokok, plus ngobrol. Hingga jam 13.00 WIB kami pun berangkat menuju Pos Baderan. Nah temannya Dayat ini mengajak temannya lagi, jadi nantinya setelah mengantar kami berdua di Pos Baderan, motor milik Dayat akan dibawa kembali oleh temanya Dayat. Lah bahasane mbingungi tho? Ada temannya Dayat, temannya Dayat juga punya teman. Halah... mbuh lah, kami semua berteman *Haish.
Setelah menyusuri jalan aspal menanjak nan berliku, sampailah kami di pos perijinan Gunung Argopuro di Desa Baderan. Ngik... Ternyata di pos nggak ada orang. Tertulis di pintu pos nomor HP pemegang kunci. Saya keluarkan HP untuk menghubungi nomor tersebut. Ngik... Di layar HP tertulis Emergency, tanda nggak ada sinyal. Setelah lama mencoba, akhirnya HP Dayat pun tersambung dengan nomor pemegang kunci. Dari obrolan singkat itu kami disuruh menunggu sebentar, dikarenakan yang bersangkutan sedang ada urusan di daerah Kec. Besuki, Situbondo. Ngik...
Kami pun memutuskan menunggu, sementara teman Dayat beserta temannya (nah lho, mbulet meneh) pamit pulang karena cuaca mulai mendung dan khawatir akan turun hujan. Sambil menunggu sang pemegang kunci pos datang, Dayat membeli 2 nasi bungkus untuk bekal perjalanan nanti, lumayan biar nanti nggak usah repot masak. Skip... Akhirnya yang ditunggu pun muncul. Mas Buryadin, seorang pemuda berbadan kecil datang sambil menyalami kami. Dia kemudian membuka pintu pos perijinan dan mempersilahkan kami masuk untuk beristirahat. Sambil beristirahat, kami pun ngobrol-ngobrol sejenak, Mas Buryadin bilang kalau Pak Am (penanggung jawab pos) sedang naik juga ke Argopuro menemani tim pendeteksi panas bumi dari Jakarta, sehingga soal perijinan untuk sementara dipasrahkan kepada dirinya. Nggak lama kemudian hujan turun cukup deras, Mas Buryadin menyarankan agar kami memulai pendakian esok hari, karena sore ini cuaca kurang bersahabat. Kami pun menjawab, jika memang hujan nggak reda kami akan mulai mendaki esok hari, tapi jika hujan reda dan cuaca bersahabat, kemungkinan kami akan memulai pendakian sore ini. Sambil menunggu hujan reda, Dayat mulai membuka bungkusan nasi, rupanya dia sedang kelaparan hahaha. Sementara saya hanya tiduran sambil numpang mencharge HP. Alhamdulillah hujan akhirnya reda walau masih menyisakan sedikit mendung. Kami pun memutuskan untuk melakukan pendakian sore ini. Setelah mengurusi perijinan dan mencatat nomor HP Mas Buryadin (karena nanti sesampainya turun di Desa Bremi, Kec. Krucil, Kab. Probolinggo, kami harus melaporkan keadaan kami kepada pos awal pendakian), dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim, kurang lebih jam 16.00 WIB pendakian menuju Gunung Argopuro pun dimulai.
Kami mulai menyusuri jalan berpaving di belakang pos pendakian, terus berjalan menyusuri sungai kecil, sesekali berpapasan dengan petani yang pulang dari ladang sambil membawa rumput untuk makan ternak mereka. Setelah lepas dari jalan kecil, sampailah kami di jalan besar berbatu dengan pemandangan bukit dan lembah berhias beberapa air terjun dan ladang-ladang milik penduduk. Beberapa bukit yang semula banyak berdiri pohon-pohon besar, kini sedikit demi sedikit mulai beralih fungsi menjadi ladang. Permasalahan yang cukup dilematis menurut saya *Tsaah, di satu sisi keberadaan pohon-pohon besar sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup ekosistem dan mencegah adanya tanah longsor, tapi di sisi lain, para penduduk memang membutuhkan ladang sebagai sumber pendapatan guna kelangsungan hidup mereka. Ah entahlah...
Senja datang, petang menjelang, setelah berjalan kurang lebih 2 jam, kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda di sebuah lahan kosong sebelah ladang milik penduduk. Tenda sudah berdiri, sekarang giliran saya makan nasi bungkusan yang sudah dibeli oleh Dayat tadi sore. Berselimut malam gelap, kami nikmati secangkir kopi di luar tenda. Sesekali terdengar suara para petani menirukan lolongan anjing. Rupanya banyak petani yang ngecamp di gubuk-gubuk untuk menjaga ladang mereka dari gangguang babi hutan yang sering merusak ladang. Nggak lama kemudian kami memutuskan istirahat di dalam tenda untuk memulihkan tenaga guna melanjutkan perjalanan esok hari.

03 Maret 2013
Kegiatan pertama di pagi ini adalah menikmati secangkir kopi sambil packing. Cuaca cerah, pemandangan indah. Beberapa orang penduduk sekitar mulai berdatangan untuk bekerja di ladang mereka. Saling tegur sapa dan ngobrol sejenak (untungnya kami yang dari Jember sudah terbiasa ngobrol dengan bahasa Madura, bahasa penduduk sekitar, jadi ngobrol sudah nggak canggung lagi). Acara ngopi dan packing beres, sebungkus roti sudah cukup mengganjal perut kami, dan perjalanan pun kembali dilanjutkan. Terus menyusuri jalan setapak berbatu. Untuk urusan air nggak perlu khawatir, karena selama perjalanan ada beberapa pancuran air segar yang sengaja dibuat oleh petani sekitar. Lama berjalan, perut mulai keroncongan. Kami istirahat sejenak di pinggir jalan untuk menanak nasi dan makan.
Beres mengisi perut, packing, perjalanan berlanjut. Siang hari sampailah kami di Pos Mata Air, di situ tampak ada 2 orang sedang sibuk mengamati sesuatu dengan sebuat alat yang entah saya sendiri nggak tahu namanya hehehe. Dayat berinisiatif turun ke sumber mata air yang berada di kiri jalan untuk mengisi ulang persediaan air, sementara saya ngobrol-ngobrol dengan 2 orang tadi yang ternyata merupakan salah satu tim pencari panas bumi. Menurut 2 orang bapak tadi, ada 5 tim yang disebar untuk mencari sumber panas bumi di Gunung Argopuro. Tim-tim tersebut terdiri dari pihak swasta dan ada juga yang dari pihak Pertamina, ditemani oleh anggota KSDA Baderan serta dibantu oleh Tim Jerat (Jember Adventure Trail). Konon energi panas bumi ini nantinya akan dikonversi untuk menjadi sumber listrik. Woow... *Tanpa koprol.
Setelah Dayat selesai mengisi persediaan air, perjalanan kembali kami lanjutkan. Perjalanan panjang terus kami tempuh dengan menyusuri jalan setapak berhias rumput ilalang yang tinggi. Terkadang kami menemui beberapa jalan bercabang, di sinilah pentingnya sebuah orientasi medan. Hal pertama yang dilakukan adalah jangan gugup dan bingung, santai saja, duduk dan letakkan beban keril yang ada di pundak, kemudian nyalakan sebantang rokok hehe, selanjutnya lakukan orientasi medan (ingat jangan jalan terlalu jauh dulu), ikuti insting dan intuisi kita, jalan mana yang nantinya harus diambil. Just like that??!! Iya dengan cara seperti itu saat diperjalanan kami menemui jalan bercabang, Alhamdulillah nggak tersesat hehehe (nekat atau hebat?! ah sudahlah).
Sore hari menjelang, ladang penduduk sudah kami lalui, sekarang sudah mulai memasuki area hutan pinus. Suara gemuruh gledek mulai terdengar, langit terlihat sedikit gelap, sepertinya sebentar lagi turun hujan. Dan benar saja, tetes-tetes air hujan mulai turun, segera kami kenakan jas hujan. Perjalanan tetap dilanjutkan. Tidak terasa kami pun sudah masuk area hutan-hutan gelap dengan pohon-pohon besar tinggi menjulang. Malam datang, hujan semakin deras, Dayat mengisyaratkan untuk beristirahat sejenak dan membuat bivak dari flysheet. Setelah bivak jadi, kami berdua berteduh di bawahnya. Dayat terlihat sangat capek dan kedinginan. Khawatir akan kondisi Dayat, saya pun berinisiatif membuat 2 gelas susu panas. Kita bedua harus berjuang, badan harus tetap hangat, nggak... nggak boleh sakit, jangan sampai terkena hipotermia. Saat Dayat terlihat akan tertidur, sesegera mungkin saya hardik, ayo diminum susunya, jangan sampai tertidur, ayo kita ngobrol. Beberapa saat kemudian akhirnya kondisi badan mulai sedikit normal, sementara kondisi cuaca masih tetap saja kacau hehehe. Dayat memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai menemukan tempat yang pas untuk mendirikan tenda guna beristirahat. Saya iyakan, berbekal cahaya senter kami berdua kembali membelah hutan menyusuri jalanan setapak sampai akhirnya menemukan tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Di bawah guyuran hujan kami berdua mulai mendirikan tenda. Celana, sepatu basah semua "teles kebes". Brrrr.... semua yang basah kami tinggal di luar tenda, saya berganti sarung dan langsung masuk dalam sleeping bag. Saatnya mengistirahatkan badan.

04 Maret 2013
Sudah jam 8 pagi, masih mendung, berkabut tebal, matahari nggak mampu menembus kabut. Segera bikin kopi dan masak untuk sarapan. Setelah selesai, segera packing, memakai kembali pakaian kemarin yang masih basah. Celana, kaos kaki, sepatu, semuanya masih basah. Begitu dipakai rasanya maknyess, dinginnya semriwing cuk.
Entah karena cuaca yang gelap dan dingin, atau karena merasa jauh dari peradaban, atau karena memang dasarnya saya yang gila, mulai saat itu saya berdelusi meyakinkan diri saya, bahwa kami berdua adalah gerilyawan Vietkong yang sedang bergerilya melawan penjajah. Kami berdua harus semangat, harus survive sampai perjalanan usai...!! Merdeka...!! hahaha gendheng...!! OK, dengan semangat juang yang cetar membahana, kami pun melanjutkan perjalanan. Nggak beberapa lama berjalan (kisaran 500 meter di depan) ternyata berdiri beberapa tenda yang sepertinya cukup nyaman. Yaaa... itu adalah tenda milik tim pencari panas bumi, di situ terlihat beberapa orang porter sedang memasak nasi lengkap dengan sayur mayur yang sepertinya uenak. Aseeemmm... tahu gitu, semalem mestinya kita berdua lanjut jalan aja. Nanti pasti ditampung sama mereka, dan paginya bisa makan enak...!! *PD tingkat dewa, pengaruh dari delusi Vietkong. Ah sudahlah.
Kami melewati beberapa tenda tadi sambil air liur menetes-netes melihat makanan mereka *Eh, maksudnya sambil menyapa bapak-bapak yang ada di sana. Rute perjalanan mulai naik turun bukit, terkadang jalan setapak berhias lembah di bawahnya. Tak terasa sampai juga kami di sebuah padang yang luas (mirip tempat syutingnya Teletubies ngik...), yang katanya sih disebut Alun-Alun. Di Alun-alun kabut masih tebal, serasa berada di negeri antah berantah (tepatnya mirip negeri khayangan seperti di film-film China hahaha *Delusi lagi). Perjalanan terus berlanjut, hujan semalam membuat tanah menjadi licin, sempat beberapa kali kami terpeleset jatuh hahaha. Hingga akhirnya samar-samar terlihat sebuah shelter nun jauh di sana. Alhamdulillah rupanya kami berdua sudah sampai di Pos Cikasur. Yeah, cuaca pun cerah, akhirnya kami bisa merasakan hangatnya cahaya matahari. Alhamdulillah, dapat kepuasan dobel.
Setelah melintasi sungai kecil (konon katanya disebut Sungai Qolbu yang sangat jernih dan berhias tanaman Selada Air, atau dalam bahasa Jember-an disebut Arnong) sampailah kami di shelter Cikasur. Kami segera mendirikan tenda di samping shelter, melepas semua pakaian, sepatu, dan peralatan yang basah untuk dijemur. Tanpa baju, hanya bercelana pendek kami lari-lari di sekitar Cikasur, kemudian turun ke sungai Qolbu untuk mencari selada air alias arnong. Yeah gembira rasanya *Delusi Vietkong gendheng. Sore hari seluruh alat tempur yang dijemur kami rapikan kembali. Semuanya sudah kering...!! Dayat mulai mengiris-iris bumbu-bumbu dapur seperti bawang putih, cabe, dan lain sebagainya. Sore itu kami makan tumis selada air. Nikmatnyoooo...!! Tambo ciek...!! hahaha. Apalagi suasana pemandangan saat itu sungguh indah, hamparan rumput berwarna hijau luas membentang, langit yang begitu biru, beberapa hewan penghuni hutan muncul, ada gerombolan rusa, gerombolan merak, terkadang ayam bekisar, wah benar-benar ciamik.
Senja hari pun tiba, kabut mulai turun, suasana mulai gelap. Kami berdua segera masuk tenda untuk beristirahat. Perbanyak berdoa agar dijauhkan dari godaan makhluk kasar (hewan buas) ataupun makhluk halus hehe. Konon katanya di Cikasur yang merupakan bekas lapangan terbang tentara Belanda dan Jepang saat jaman penjajahan dulu, kalau malam hari sering terjadi hal-hal mistis. Hal-hal mistis apa itu? googling aja sendiri, kami sudah capek, pengen istirahat, malas mau menjelaskan... ngik. zzZZZZZzz.

05 Maret 2014
Alhamdulillah semalam saya merasakan tidur yang sangat-sangat nyenyak, nyaman sekali rasanya. Pulas sekaligus puas. Hari ini dijalani dengan ritual awal minum kopi. Sedaap. Sarapan nasi, ikan asin, plus tumis selada air alias arnong. Sedaap lagi. Setelah packing dan tidak lupa membawa persediaan selada air yang cukup (untuk masak di lain waktu hehe), kami pun berangkat meninggalkan Pos Cikasur.
Kembali naik turun bukit, keluar masuk hutan berisi sekawanan lutung budeng. Kembali menempuh perjalanan panjang. Cuaca mendung lagi. Hujan turun lagi. Jas hujan kami kenakan lagi. Di bawah guyuran hujan yang cukup deras, setelah menyeberangi sungai kecil sampailah kami di shelter Pos Cisentor. Kami mendirikan tenda di dalam shelter dengan sisi-sisi bawah tenda diikat dengan tali ke lantai shelter. Baju, celana, sepatu, kaos kaki yang basah kami taruh untuk sekedar diangin-anginkan di tiang-tiang penyangga shelter. Sore itu kami memasak sebanyak 2 kali. Satu untuk dimakan pada saat itu juga, dan satu lagi untuk persediaan besok pagi sebelum menuju puncak Rengganis, biar praktis.
Hujan masih belum reda, sesekali kami melihat pohon besar yang batangnya sudah berlubang karena terbakar yang berdiri di sebelah atas shelter. Wah ini pohon kalau kena angin kencang dan roboh menindih shelter bisa berabe hehehe. Dengan mmemanjatkan bermacam-macam do'a, kami pun masuk tenda untuk beristirahat. Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan aamiin.

06 Maret 2014
Alhamdulillah pagi ini masih bernafas, walau semalam tidur terasa kurang nyenyak karena rasa was-was terhadap pohon berlubang yang bertengger di atas shelter. Cuaca pagi ini masih gerimis tipis, langit tampak mendung. Setelah sarapan, kami packing beberapa perlengkapan untuk dibawa ke puncak, diantaranya flysheet, obat-obatan, senter, pisau, korek plus rokok, susu coklat, roti, dan air minum, kami masukkan ke dalam tas kecil. Sementara perlengkapan lain dan tenda kami tinggal di shelter. Dengan mengucap Bismillah kami berangkat ke arah sisi kiri shelter (jalan menanjak) menuju puncak Rengganis. Jalan menanjak pelan-pelan kami susuri, hingga sampailah kami di Pos Rawa Embik. Di sini kami istirahat sejenak.
Setelah dirasa cukup istirahat, perjalanan kami lanjutkan. Menyusuri semak-semak jalan setapak. Tidak lama kemudian tampak tanda arah menuju puncak Rengganis. Medan semakin menanjak, dan Alhamdulillah kami sampai juga di reruntuhan batuan yang konon katanya bekas bangunan kerajaan Putri Rengganis, ada 2 makam di situ, entah makam siapa, kami juga nggak tahu. Beberapa meter di belakang reruntuhan merupakan sebuah bukti berbatu yang disebut Puncak Rengganis.
Angin berhembus kencang menderu-deru seperti suara pesawat terbang, kabut cukup tebal, hingga pemandangan yang tampak nggak begitu indah, yang terlihat hanya kabut, kabut, dan kabut. Setelah mengadakan pesta syukuran kecil (makan roti dan susu coklat, serta berfoto-foto), kami memutuskan untuk langsung turun kembali ke Pos Cisentor (kami tidak melanjutkan ke puncak Argopuro).
Sesampainya di Pos Cisentor kami segera berkemas untuk kembali melanjutkan perjalanan yang masih panjang.Kami mulai menapaki jalan sedikit menanjak di belakang shelter Pos Cisentor. Kembali naik turun bukit dengan hiasan beberapa pohon seperti bekas terbakar (entah sudah berapa kali). Jauh dari peradaban, hanya berdua (terakhir bertemu manusia lain pas sebelum Pos Cikasur hehe) membuat delusi Vietkong saya semakin menjadi hahaha. Dengan semangat juang Vietkong kami memasuki kawasan hutan lumut yang lembab. Oh iya, sempat juga kami tersengat daun Tumbuhan Jancukan (nggak tahu bahasa Indonesianya apa ya?? mulai dari batang sampai daun berisi jarum-jarum kecil yang lancip), dan konon sih katanya pendakian ke Argopuro memang kurang afdol kalo' belum tersengat daun ini. Rasanya nyeri-nyeri sedap, mirip pas tersengat Uler Srengenge (Ulat Matahari... Dulu waktu jaman saya kecil pernah tersengat ulat ini hehe).
Sore hari cuaca kembali mendung dan akhirnya turun hujan beserta angin. Malam pun datang, hujan angin nggak kunjung reda, akhirnya kita putuskan mendirikan tenda di sedikit tanah kosong di antara pohon pinus. Dayat kembali drop dan masuk tenda. Saya sebenarnya juga sudah capek dan kedinginan, tapi semangat juang delusi Vietkong membuat saya bertahan. Saya masak mie rebus dan 2 gelas susu panas. "Kamu kok masih sempat-sempatnya masak bro, apa nggak capek?" tanya Dayat. Saya jawab, "Capek juga sih, tapi kalo' saya nggak masak buat menghangatkan badan, nanti kita berdua malah mati bro hahaha". Dayat pun ikut tertawa. Yup, selepas menghajar mie rebus dan susu panas, kami pun istirahat. Samar-samar di luar terdengar suara "kresek-kresek" sedikit gaduh, entah suara tikus atau babi hutan saya nggak tahu haha. Yang saya butuhkan saat itu hanyalah tidur, sumpah.

07 Maret 2013
Pagi datang, cuaca cerah, horeeee. Bikin kopi dan mainkan musik dari HP tanpa sinyal. Suara tembang campursari dari Manthous pun mengalun, bersahut-sahutan dengan suara burung yang bertengger di pohon pinus. Ah damainya (emang Vietkong mendengarkan campursari?? ah bodo amat hahaha). Setelah sarapan kami pun berkemas dan kembali melanjutkan perjalanan. Eeaaaa naik turun bukit lagi.
Di tengah perjalanan, kami sempat bingung. Jalur perjalanan terhalang oleh pohon besar yang ambruk. Sepertinya karena angin semalam, terlihat patahan pohon masih baru. Orientasi medan lagi, akhirnya saya mencoba menerobos semak-semak, memerosotkan badan saya (halah bahasane memerosotkan iki apa tho?) ke bawah, dan ternyata memang tembus ke jalan setapak. Dayat yang masih di atas saya teriaki untuk ikut turun. Nah, sekarang tinggal mengira-ngira ini jalan turun ke Bremi arah yang kanan atau sebaliknya?? hahaha. Orientasi medan lagi, dengan melihat kondisi jalan, akhirnya kami putuskan ke kiri, dan Alhamdulillah perkiraan kami benar. Sekarang jalan mulai menurun, turunannya lumayan kejam (entah bagaimana kalo' perjalanan dimulai dari Probolinggo dengan jalan yang menanjak seperti ini, dengkul amburadul kali hehe).
Samar-samar bangunan rumah-rumah di bawah mulai terlihat, tapi kami yakin itu masih jauh, yang penting jalan yang ditempuh sudah benar... itu sudah.
Kembali memasuki hutan dengan pohon-pohon besar, tapi jalan sudah relatif landai. Eh, ada pohon salam yang sedang berbuah. Saya ambil buahnya, jalan sambil menikmati buah salam, yang didaerah saya disebut Manting. Berbentuk bulat kecil berwarna merah atau hitam dengan rasa manis, asam, sepat campur jadi satu. Jadi teringat masa kecil dulu (kepala sempat bocor karena kejatuhan batu pas nyuri manting hahaha, mohon dengan sangat jangan ditiru kelakuan tersebut). Lama berjalan, delusi Vietkong masih menyelimuti pikiran saya hahaha. Nggak terasa sampailah kami di papan petunjuk bertuliskan arah Danau Taman Hidup. Yup, kami sempatkan mampir sejenak untuk menikmati danau tersebut. Konon katanya di danau inilah Putri Rengganis beserta dayang-dayangnya mandi. Dan konon katanya pula, kalau kita berteriak-teriak di danau ini, nanti akan datang kabut, kemudian lambat laun kabut tersebut akan hilang dengan sendirinya, kita teriak-teriak lagi, maka kabut akan datang lagi, begitu seterusnya. Entah benar atau tidak kami tidak membuktikan hehe. Yang kami tahu, di danau ini banyak ikan, dan sering digunakan sebagai tempat memancing oleh penduduk. Tapi saat itu nggak ada orang sama sekali, cuma kami berdua haha. Puas menikmati pemandangan Danau Taman Hidup, kami lanjutkan perjalanan.
Setelah sekian lama berjalan, akhirnya kami memasuki areal perkebunan pinus, kemudian lanjut memasuki areal ladang penduduk. Nah di sini, saat istirahat dan menikmati gula merah, saya mulai merasakan ngilu di kaki kanan saya. Mungkin karena terlalu lama berjalan kali yaa. Dengan sedikit terseok-seok kami lanjutkan perjalanan, sampai akhirnya menemui jalan beraspal. Yihaaa kami kembali ke peradaban hahaha. Kami ambil arah ke kiri, terus berjalan, dan kurang lebih jam 17.00 WIB sampailah di pertigaan Masjid Bremi. Sesampainya di situ kami cari toko dan beli minuman yang enak hahaha. Menikmati minuman enak tidak lupa sambil mencoba menelpon Mas Buryadin. Setelah tersambung kami laporkan bahwa kami sudah turun sampai di Desa Bremi, Kec. Krucil, Kab. Probolinggo komplit dua orang dengan selamat. Alhamdulillah.
Selanjutnya kami menuju kantor Polsek Krucil (eh... mau menyerahkan diri mas? maling apa mas? hehe). Enak aja, kami copet bukan maling...!! Haha... di Polsek kami ingin numpang istirahat buat bermalam. Setelah minta ijin dan berbasa-basi dengan bapak-bapak polisi, akhirnya kami diijinkan dan dipersilahkan untuk menginap, walau nantinya cuma tidur beralaskan matras kami di lantai ruang belakang, itu sudah lebih dari cukup, dari pada tidur di pinggi jalan raya, nanti hujan gimana? belum lagi kalau kelindes mobil gimana? kalian sih seneng, lha kami mampus, hayoo.
Kegiatan di kantor Polsek diawali dengan mandi (dari awal start perjalan sampai finish, kami nggak pernah mandi sama sekali buakakakakak). Setelah mandi, kami pun duduk-duduk di teras ruang belakang Polsek sambil ngobrol, menghisap rokok, dan mengenang perjalanan panjang yang baru saja usai. Selanjutnya menggelar matras dan masuk ke dalam sleeping bag masing-masing. Tidur.

08 Maret 2013
Pagi-pagi sekali kami sudah bangun. Karena menurut info, bis dari Krucil dengan tujuan terminal Probolinggo hanya ada 2 kali, yaitu pada pukul 06.00 WIB dan pukul 16.00 WIB. Setelah beres-beres, kami pun berjalan ke depan kantor Polsek. Beberapa saat kemudian muncul bis yang kami maksud. Tapi tunggu dulu... Polsek kok sepi?? Ha?! Rupanya bapak-bapak polisi yang semalam berjaga, pagi itu belum bangun... ngik. Mau bablas pergi dari Polsek dan naik bis kok kami rasa kurang sopan, masa' pas datang permisi, pas pulang nggak pakai permisi, kan kami bukan jailangkung... ngik. Ah... akhirnya kami relakan bis tadi terus berjalan. Biar sudah... toh masih ada angdes (angkutan pedesaan) yang jadwal perjalanannya sewaktu-waktu ada, hanya saja angdes ini nggak sampai ke terminal Probolinggo, rute perjalanannya hanya sampai di daerah Pajarakan (selatan Ponpes Zainul Hasan), tepatnya di jalan raya Pantura Probolinggo.
Okelah, setelah bapak-bapak polisi bangun, kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Selanjutnya kami cari warung makan untuk sarapan. Perut sudah terisi, kami pun menunggu angdes di pinggir jalan (iyalah, masa' mau di tengah jalan hehehe *sedikit delusi Vietkong masih tersisa). Olret, angdes yang ditunggu sudah datang, setelah keril kami di taruh di atas mobil, kami pun masuk ke dalam dan duduk dengan manis *ceilee. Setelah kurang lebih 1 jam menempuh perjalanan dengan jalan beraspal berhias sedikit makadam plus alunan musik dangdut Rhoma Irama dari CD Player angdes, sampailah kami di Pajarakan. Kami pun menyeberang dan menunggu bis jurusan Situbondo. Sambil menunggu bis, kami memesan segelas kopi di warung yang ada di pinggir jalan.
Lama menunggu, akhirnya bis jurusan Situbondo pun datang, kami segera naik dan turun di daerah Suboh, Situbondo (tujuannya adalah ke rumah teman Dayat). Sampai di sana, langsung ambil motor dan melanjutkan perjalanan kembali ke Jember. Wuaaaa.... dibonceng lagi, badan tersiksa lagi. Syukur Alhamdulillah, setelah bersepeda motor di bawah guyuran hujan, sore hari kami sampai di Jember. Horeeee... cukup dua kata untuk pendakian kali ini. Seru dan Puas...!!

Demikianlah cerita perjalanan kami menyusuri Pegunungan Yang, menuju Puncak Rengganis Gunung Argopuro start dari Desa Baderan, Kec. Sumbermalang, Kab. Situbondo dan finish di Desa Bremi, Kec. Krucil, Kab. Probolinggo - Jawa Timur. Dua hari kemudian, kami baca berita, dan kami mendapati berita duka. Pada tanggal 10 Maret 2013, seorang mahasiswa pendaki asal Karawang meninggal dunia karena hipotermia saat akan mendaki Gunung Argopuro. Beliau meninggal dunia beberapa saat setelah memulai perjalanan dari Desa Baderan Kec. Sumbermalang, Kab. Situbondo. Kami turut berdua cita.


Beberapa Hasil Dokumentasi 



share on facebook